The Darkness Inside

Kira berjalan dari hutan kematian itu menuju lembah, tempat mereka menjalin tali pertemanan mereka. Kira meletakkan gadis itu di bawah sebuah pohon yang besar. Kesadarannya belum kunjung kembali. Wajahnya terlihat sangat sedih, terlihat begitu merasa bersalah terhadap kematian adiknya. Ia melihat pendarahan Catriel sudah berhenti. Kira lalu melepas ikatan jaketnya dan menyampirkannya di tubuh Catriel agar ia merasa hangat di senja yang dingin ini.

Kira duduk disamping Catriel. Matanya tertuju pada matahari yang sedang terbenam dengan indahnya. Ia teringat akan kehidupannya di Xion. Setiap tahun baru Ia bersama keluarganya selalu mengunjungi pantai atau lembah untuk melihat matahari terbit. Mereka percaya bahwa matahari terbit melambangkan diri mereka yang terlahir kembali seiring dengan pergaintian tahun.

Ia merebahkan dirinya di atas rumput hijau. Langit tampak berwarna merah kekuningan, indah sekali.

..."Tidakah kau menyadarinya...?! Aku membencimu, Kak!"
..."...Aku kecewa padamu, Catriel..."
..."Dengan ini, Lusharda Catriel diputuskan bersalah..."

Kata-kata itu berkecamuk di alam bawah sadar gadis berambut kehitaman itu. Semua penyesalannya, amarah, bahkan keputusasaannya terasa bercampur aduk di dalam dirinya, membuatnya tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk meredam suara-suara itu. Dengan sangat perlahan, ia membuka matanya yang berwarna Scarlet. Warna yang sama dengan warna senja yang sekarang membungkusnya. Ia mengerang kesakitan saat tubuhnya bergerak.

Luka...? Tapi di mana ia...?
Ah...Benar... Luka yang ia dapat di Forest Of No Return... Luka dari sosok itu...

Oliver...

Catriel mengernyitkan mata saat sinar matahari yang mulai terbenam menyilaukan pandangannya. Ia baru tersadar bahwa ia sudah tidak lagi di hutan itu, melainkan di Valley...

Samar-samar ia dapat merasakan keberadaan seseorang yang sudah ia kenali. Ia berusaha memfokuskan pandangannya dan akhirnya dapat menangkap sosok pria berambut biru itu.
"...Kira...?"

...Kira...?

Kira menoleh ke belakang, Catriel sudah siuman. Ia berjalan mendekatinya lalu memeriksa lukanya. Ia lalu mulai membebat lukanya, untung saja Ia membawa perban di sakunya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kira sambil menutup luka Catriel. "Tahan sedikit"

Ia kembali memandang lagit yang terlihat jingga indah, namun baginya nampak seperti neraka. Di hari pembunuhan keluarganya warna langit juga seperti ini. Jingga. Warna jingga yang seharusnya indah menjadi terlihat seperti darah. Ia lalu memejamkan matanya, tidak sanggup menginngat kenangannya yang pahit tentang masa lalunya.

"Hei..Aku yakin adikmu tidak seperti itu. Tenanglah." kata Kira berusaha menenangkan Catriel.

"Bagaimana keadaanmu?"

Catriel hanya menggeleng perlahan, tidak mampu menutupi rasa sakitnya.

"Tahan sedikit"

Catriel mengernyit saa Kira mengencangkan perbannya dalam belitan terakhir.
"Maaf," gumamnya setelah ia selesai membebat luka Catriel.

Catriel menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan perlahan, berusaha mengusir suara-suara yang masih mendengung di kepalanya.

"Hei..Aku yakin adikmu tidak seperti itu. Tenanglah."

"...Bagaimana kau bisa tahu...? Apa yang dikatakan makhluk itu benar... Ia pasti membenci dan dendam padaku..."

Maaf

Kira menoleh sesaat, tersenyum samar. Ia sedikit merasa risih bila dimintai maaf, entah mengapa sejak dulu
Ia selalu begitu. Apa mungkin karena ia juga memang jarang meminta maaf karena harga dirinya yang dianggap
terlalu tinggi?
"Tidak usah meminta maaf" kata Kira santai.

Catriel masih terbayang-bayang dengan kejadian tadi di hutan. Berat rasanya bila traumanya selama ini benar-
benar ditunjukkan oleh makhluk itu. Kira tersenyum pahit. Mungkin Ia juga akan shock bila melihat sosok makhluk
yang paling ingin dibunuhnya di depannya. Ia memegang bekas luka yang diakibatkan oleh makhluk itu. Alisnya
berkerut. Terlalu menyakitkan.

...Bagaimana kau bisa tahu...? Apa yang dikatakan makhluk itu benar... Ia pasti membenci dan dendam padaku...

Gadis ini benar-benar frustasi. Agaknya Ia benar-benar merasa bersalah atas diangkatnya dia menjadi rune knight di Xion. Namun bagi Kira Ia sama sekali tidak bersalah, prasangka buruknya itulah yang membuatnya terus merasa bersalah seperti itu.
"Kau sama sekali tidak bersalah! Makhluk itu lah yang mencoba membuatmu frustasi lalu mengambil tubuhmu. Berhentilah menyalahi diri sendiri!!" seru Kira sedikit emosi.

Entah apa yang dirasakan Kira terhadap gadis berambut hitam itu, namun ia merasa tidak tenang ketika melihatnya
bersedih seperti itu. Mungkinkah...

Catriel tidak bergerak, masih diam dalam posisinya di bawah pohon itu. Tidak ada kata-kata yang terbayang dalam otaknya untuk diucapkannya dengan mulutnya. Makhluk itu benar-benar adalah Oliver bagi dirinya... Oliver yang mendenam dan benci padanya. ...Setidaknya itulah yang selama ini ia takutkan.

Ia tahu bahwa Doppelganger adalah makhluk kegelapan yang berusaha mengambil tubuh orang yang memiliki ketakutan besar dalam hatinya. Doppelganger, dari apa yang Catriel pernah pelajari dalam pendidikan eksorsismenya sebagai Knight, adalah jenis monster yang akan membaca pikiranmu dan menggunakannya untuk melemahkan mangsanya. Maka tidak aneh bila makhluk itu jgua dapat membuka tabir memori seseorang, sama seperti saat makhluk itu menyingkap kenangan Catriel pada Rin dan Kira.

Catriel juga menyadari bahwa Doppelganger itu adalah manifestasi ketakutan dan keputusasaan dirinya sendiri. Tapi mengingat bagaimana wajah 'Oliver' mengatakan hal itu, Catriel serasa mati rasa. Ketakutannya yang terbesar seolah menjadi kenyataan. Oliver membencinya...

"Kau sama sekali tidak bersalah! Makhluk itu lah yang mencoba membuatmu frustasi lalu mengambil tubuhmu. Berhentilah menyalahi diri sendiri!!"

"Aku sudah muak," jawabnya lirih kepada Kira sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut-denyut. Kali ini nada kekesalan dan kemarahan sedikit tersirat dalam suaranya yang biasanya sedingin dan sebening air. "Tubuh pendosa ini benar-benar mengekangku, begitu juga dengan kegelapan di sel bawah tanah itu...! Apa kau tahu sekeras apa aku berteriak dan menangis di bawah sana?! ...Bagaimana perasaanku saat mendekam dalam kegelapan yang diselimuti dengan teriakan dan erangan para tawanan?!"

Tubuh pendosa ini benar-benar mengekangku, begitu juga dengan kegelapan di sel bawah tanah itu...! Apa kau tahu sekeras apa aku berteriak dan menangis di bawah sana?! ...Bagaimana perasaanku saat mendekam dalam kegelapan yang diselimuti dengan teriakan dan erangan para tawanan?!

Ucapan Catriel membuat Kira terkejut. Nada ucapannya terdengar benar-benar menyedihkan, seolah Ia benar-benar terjebak dalam neraka kegelapan.
"Mungkin aku tidak tahu, tapi janganlah terus menerus menyalahi dirimu sendiri. Aku yakin, adikmu bukanlah pendendam, seperti aku..." katanya pelan.

Dendam... Hal yang benar-benar terus membekas dalam diri Kira, mungkin juga merupakan bagian dari Kira sendiri. Catriel berkata tentang dendam, dendam lagi. Ia sudah lelah berurusan dengan dendam, namun tak kuasa mengusirnya dari dalam dirinya.
"Janganlah berkata dendam. Sekali kau mendendam, selamanya akan begitu." Kira memalingkan wajahnya.

Kira menoleh ka arah catriel. Ia teringat akan seseorang yang dulu disayanginya.
"Kau...mirip dengan gadis yang dulu kusayangi." katanya sambil tersenyum samar.

"Mungkin aku tidak tahu, tapi janganlah terus menerus menyalahi dirimu sendiri. Aku yakin, adikmu bukanlah pendendam, seperti aku..."

Catriel tidak bergerak. Alisnya berkerut karena vertigo yang menyerangnya, dan lukanya makin lama makin terasa seperti terbakar seakan-akan luka itu hidup dan terus menggerogotinya.

"Janganlah berkata dendam. Sekali kau mendendam, selamanya akan begitu."

"Aku sudah lelah mendendam..." katanya perlahan. "Aku sudah bosan melempar-lempar kesalahan pada dunia, orang lain, dan statusku... Perkataanmu yang waktu itu memang benar. Aku tidak pantas menjadi seorang Knight, ataupun seorang kakak."

"Kau...mirip dengan gadis yang dulu kusayangi."

Catriel memalingkan wajahnya dan menatap hamparan rumput yang berkilauan tertimpa cahaya keemasan matahari, tidak tahu harus merespon apa.

"...Setidaknya ia tidak terikat dengan kegelapan seperti aku..."

Aku sudah lelah mendendam... Aku sudah bosan melempar-lempar kesalahan pada dunia, orang lain, dan statusku... Perkataanmu yang waktu itu memang benar. Aku tidak pantas menjadi seorang Knight, ataupun seorang kakak.

Kira menghela napasnya. Gadis ini masih saja berkata begitu. Ia kembali merebahkan tubuhnya, memandang langit senja yang dirasanya indah. Ia menerawang jauh, mengingat dirinya yang masih belum mengenal dendam. Ia lupa rasa hidup tanpa mengenal dendam.
"Waktu itu aku hanya terbawa emosi. Menurutku kau sangat pantas menjadi knight. Knight bukanlah orang yang HARUS berhasil melindungi sesuatu yang berharga baginya. Knight adalah seseorang yang berusaha dengan segenap tenaga dan jiwanya untuk melindungi sesuatu yang bergarha baginya. Ingat itu."

..Setidaknya ia tidak terikat dengan kegelapan seperti aku...

Lagi-lagi Kira menghelakan napasnya. Ia benar-benar merasa Catriel ini mirip dengan Luina, kekasihnya saat dulu Ia hidup di Xion. Mereka sama-sama keras kepala, kuat. Namun sebenarnya baik dan peduli terhadap orang lain.
"Heh..Kau benar-benar mirip dengannya. Keras kepala." kata Kira sambil terrawa kecil.

"Waktu itu aku hanya terbawa emosi. Menurutku kau sangat pantas menjadi knight. Knight bukanlah orang yang HARUS berhasil melindungi sesuatu yang berharga baginya. Knight adalah seseorang yang berusaha dengan segenap tenaga dan jiwanya untuk melindungi sesuatu yang bergarha baginya. Ingat itu."

Catriel tidak berbicara. Ia kemudian memejamkan matanya dan berusaha mengosongkan pikirannya. Ia tahu manusia tidak harus selalu berhasil. Tapi tetap saja menerima bahwa dirinya telah gagal dan mati sungguh menyakitkan dan sangatlah sulit. Bila Doppelganger itu telah merefleksikan ketakutannya, apakah itu berarti ia memang telah meragukan adiknya sendiri, Oliver?

"Heh..Kau benar-benar mirip dengannya. Keras kepala."

Catriel sedikit mengangkat wajahnya. "Banyak yang bilang aku memang keras kepala," katanya sambil tersenyum kecil tanpa sadar. "Oliver... sangat bertolak belakang dari diriku yang dulu. Ia ramah, pendiam, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Karena itulah anak itu selalu memendam perasaannya... Aku benar-benar kakak yang tidak tahu diri di masa lalu. Aku pulang dengan membawa gelar Knight dan tertawa gembira bersamanya, tidak menyadari luka yang kutorehkan pada adikku sendiri..."

Sinar matahari yang nyaris tenggelam membuat pandangan Catriel mengabur. Ia mengerjapkan matanya dan berusaha menggerakan tubuhnya untuk berdiri. Gagal. Lukanya bagai terbakar saat ia bahkan mencoba bergerak. Ia kembali jatuh terduduk dan tertawa hambar.

"Aku sangat menyedihkan..." tawanya lirih. "Maaf, Kira... Kau jadi harus menyia-nyiakan waktumu..."

Oliver... sangat bertolak belakang dari diriku yang dulu. Ia ramah, pendiam, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Karena itulah anak itu selalu memendam perasaannya... Aku benar-benar kakak yang tidak tahu diri di masa lalu. Aku pulang dengan membawa gelar Knight dan tertawa gembira bersamanya, tidak menyadari luka yang kutorehkan pada adikku sendiri...

Gadis ini benar-benar menyayangi adik laki-lakinya. Ia begitu memperhatikan perasaan anak itu, kalau tidak mana mungkin sampai sekarang Ia masih menyalahi dirinya bahwa Ia telah mengambil mimpi adiknya.
"Apakah kau pernah berpikir bahwa adikmu merasa bahagia ketika kau memberutahunya bahwa kau telah menjadi seorang knight? Aku rasa adikmu tidak mungkin berpikiran buruk tentangmu."

Kesunyian menemani mereka di senja ini. Kira memejamkan matanya menikmati semilir angin yang bertiup pelan. Tiba-tiba dilihatnya Catriel sedang berusaha berdiri, namun gagal. Ia jatuh terduduk. Kira terkejut.

Aku sangat menyedihkan..." tawanya lirih. "Maaf, Kira... Kau jadi harus menyia-nyiakan waktumu...

"Jangan gegabah. Lukamu masih terbuka. Tidak masalah, begini dapat membuatku melupakan dendam." Kira tersenyum samar.

Di tengah ketenangan mereka di lembah itu, sesosok manusia datang menghampiri mereka. Seorang anak laki-laki berambut hitam, mirip sekali dengan Catriel. Lagi-lagi makhluk itu muncul.
"Kakak...apakah kau membenciku??" makhluk itu semakin mendekati mereka. Kira mencabut Enver, mengarahkannya pada makhluk itu. Di saat Kira sedang akan menarik pelatuk Enver, makhluk itu berubah bentuk menjadi sesosok gadis archer berambut merah. Matanya yang berwarna hijau menatap Kira lekat-lekat. Tangan Kira mendadak gemetar, Ia diam tak bersuara.
"Lu...Luina..."

"Apakah kau pernah berpikir bahwa adikmu merasa bahagia ketika kau memberutahunya bahwa kau telah menjadi seorang knight? Aku rasa adikmu tidak mungkin berpikiran buruk tentangmu."

Catriel hanya termenung. Otaknya tidak mampu berpikir, terlalu lelah. Ia juga ingin mempercayai kata-kata Kira. Ia ingin mempercayai Oliver yang begitu disayanginya. Namun usaha itu nihil...

Di saat mereka tenggelam dalam kesunyian senja, sesosok bayangan menghampiri mereka. Hatinya mencelos saat ia mengenali sosok itu. Oliver. Adiknya...
Ia tidak mampu berkata-kata dan hanya dapat memandangi sosok itu berjalan pelan ke arah mereka. Tangan yang digunakannya untuk menusuk Catriel masih berlumuran darah. Kira mencabut pistolnya dan mengarahkannya pada sosok Oliver.

Namun di saat Catriel belum mampu berbicara apapun, sosok itu mengubah bentuknya dengan cepat, sama seperti saat ia berubah menjadi sosok seorang Knight dari masa lalu Catriel. Namun kali ini, ia berubah menjadi seorang gadis belia dengan rambut merah.

"Lu...Luina..."

Catriel memperhatikan Kira. Wajahnya nyaris kosong dan ia sadar Kira tengah mengalami syok. Catriel langsung tahu bahwa ialah gadis yang dibicarakan Kira sebelumnya. Di saat Catriel berusaha untuk berdiri sambil memanggil Griffith, Doppelganger itu telah melompat maju ke arah mereka...

Sang doppleganger yang tampak seperti Luina mendekati mereka. Keringat dingin bercucuran di tubuh Kira. Ia tidak dapat berbuat apa-apa melihat sosok di depannya itu adalah kekasihnya dulu.
Bangun, Kira, BANGUN!!! Dia bukan Luina, dia bukan Luina!!!!

DOORR!!

Kira menembak lengannya sendiri, darah segar memancar keluar dari lengannya. Ia berusaha menyadarkan dirinya dari ilusi sang doppleganger. Ia lalu menggendong Catriel dan meletakkannya di bawah sebuah pohon besar. Lalu Ia kembali mendekati sang doppleganger. Sekali lagi Ia mengacungkan Enver kearah makhluk itu dan menembakkan beberapa peluru ke arahnya, bidikannya tidak seperti biasanya. Ia meleset. tangannya masih gemetar melihat doppleganger itu berbentuk seperti Luina.

"Kira...Apakah kau membenciku?? Aku mencintaimu..." makhluk itu menangis, Kira semakin shock. Ia terdiam seribu bahasa, tidak dapat bergerak maupun bicara. Tangannya tergantung lemas. Matanya...wajahnya... bahkan suaranya benar-benar milik Luina. Kira memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya, berharap semua itu hanya mimpi buruk saja, namun bukan. Gadis itu tetap berada di depannya.

"Kau...KAU BUKAN LUINA!!!!!" kira menembaki makhluk itu, panik. Tidak ada satupun pelurunya yang mengenainya. Monster itu melesat ke depannya dan mencekiknya sekuat tenaga.
"Lui...na..." pandangannya berkunang-kunang, napasnya sesak.

Catriel nyaris tak sempat berkata apa-apa saat Kira menembak lengannya sendiri dan menggendongnya.

"Kau...KAU BUKAN LUINA!!!!!"

Kira menembaki Doppelganger itu dengan panik. Tidak ada satupun tembakannya yang mengenai monster itu.
Catriel berusaha berdiri dengan susah payah, menggunakan batang pohon di belakangnya sebagai tumpuan. Lukanya sedikit terbuka, tapi ia menghiraukannya. Mereka akan dimangsa Doppelganger itu bila tidak melakukan sesuatu.

"Lui...na..."

Enver terlepas dari tangan Kira, sementara Doppelganger itu melesat maju ke arah Kira. Tangannya yang masih berlumuran darah kering Catriel teracung ke depan, siap mencabik pria bertato itu.

Seolah tubuhnya bergerak sendiri, Catriel maju ke depan. Griffith teracung ke depan. Aura keperakan menyelubungi lengan dan pedang peraknya.
Catriel melompat dan menahan tusukan Doppelganger itu dengan tubuhnya sementara ia menancapkan Griffith ke jantung sosok itu.

Ia memuntahkan darah saat tangan dingin makhluk itu menembus lukanya. Sesaat, makhluk itu mengubah dirinya kembali menjadi Oliver.

"Kakak..."

Catriel menutup matanya dengan paksa, berusaha membunuh pikirannya yang berteriak untuk berhenti dan menyayunkan Griffith yang masih menancap di dada makhluk itu, membelahnya menjadi dua.

Seketika itu juga makhluk itu hancur kembali dalam kegelapan, mati. Catriel terhuyung mundur beberapa langkah dan terjatuh. Darah segar mengaliri tubuhnya...

Ukh... Makhluk itu mencekiknya semakin kuat, tangannya yang satu lagi teracung, berubah menjadi seperti sebilah pedang yang tajam, hendak menusuknya. Pandangan Kira semakin kabur, Ia sudah nyaris tak bernapas. Tiba-tiba Catriel mendekatinya, menggunakan tubuhnya sebagai perisai yang melindungi Kira dari tusukan makhluk itu.

"Catriel...kau..." tangan makhluk itu terlepas dari leher Kira. Kira terbatuk, udara segar kembali masuk melalui hidungnya. Pedang Catriel menusuk jantung makhluk itu, lalu Ia membelahnya. Habislah riwayat sang doppleganger. Kira buru-buru mendekati Catriel dan menggunakan jaketnya untuk menghentikan pendarahannya.

"Bodoh!! Untuk apa kau lakukan itu?!" seru Kira emosi. Ia tidak menyangka Catriel akan berbuat demikian. Ia mengeluarkan sebuah kantong berisi ramuan obat-obatan. Racikannya hanya diketahui oleh clan pemburu vampire saja.
"Tahan sedikit..." Kira mengoleskan obat itu ke luka Catriel.

Catriel terhuyung jatuh. Pandangannya makin memburam dan matanya semakin berat. Makin banyak suara-suara yang terdengar di kepalanya. Apakah ini yang disebut dengan sensasi saat sesorang berada dalam tahap yang begitu dekat dengan kematian...?
Ia menggelengkan kepalanya dengan susah payah, berusaha melawan rasa itu.
Darah segar masih mengalir keluar dengan deras dari lukanya. Tubuhnya seakan-akan menjadi sangat ringan namun tidak dapat digerakan sama sekali.

"Bodoh!! Untuk apa kau lakukan itu?!"

Catriel tidak menjawab. Nafasnya tersenggal-senggal karena lukanya dan ia nyaris tidak dapat membuka kelopak matanya.
Ia dapat merasakan Kira memberikan semacam gel dingin di lukanya dengan cepat dan membebatnya. Catriel berteriak kesakitan saat pria itu melakukan pertolongan pertama tersebut.

Gel dingin itu mulai bekerja. Dalam waktu beberapa menit saja ia bisa merasakan bahwa pendarahannya sudah tidak separah tadi walau darah segar masih mengucur dari lukanya. Dengan lunglai, Catriel merebahkan dan menyenderkan diri pada sebatang pohon birch.

Matahari telah tenggelam dan suasana lembah itu mulai menjadi gelap dan lebih dingin. Tanda malam sudah akan menjemput hari yang panjang itu.
Catriel memejamkan matanya, kemudian ia menengadah menatap langit yang masih berwarna biru tua dan nyaris menggelap, menunggu bintang-bintang untuk menampakan diri mereka.

"...Tubuhku bergerak sendiri..." desahnya lemah setelah merasa sedikit lebih baik. "Aku tidak menyangka makhluk itu akan mengejar sampai ke sini... Maaf... Pasti bau darahku yang telah membimbingnya."

Ada perasaan bersalah dan menyesal pada diri Catriel saat ia melihat Kira yang masih terguncang emosinya. Secara tidak langsung, ia telah nyaris mencelakakan pria itu karena kelemahannya sendiri... Sama seperti saat ia gagal melindungi keluarganya dan seluruh kota.

Catriel sepertinya sangat kesakitan saat Ia mengoleskan obat yang dibawanya ke lukanya. Memang begitulah akibatnya, namun luka Catriel pasti akan membaik dengan cepat. Lalu Kira membebat luka Catriel dengan kencang sehingga pendarahannya dapat dihentikan.

Malam sudah mulai tiba. Matahari yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya dari dunia kini telah menghilang sepenuhnya, berganti menjadi bulan malam yang terang. Bintang-bintang mulai bermunculan, keindahannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perlahan Catriel bersandar di sebatang pohon birch yang ada di dekat mereka, Kira pun mengikutinya dan bersandar di sisi samping pohon itu.

...Tubuhku bergerak sendiri...Aku tidak menyangka makhluk itu akan mengejar sampai ke sini... Maaf... Pasti bau darahku yang telah membimbingnya.

Kira yang sedari tadi sedang memandang indahnya bintang menolehkan kepalanya ke arah Catriel. Lagi-lagi menyalahkan dirinya.
"Kau ini. Tolong berhenti meminta maaf, aku tidak tahan bila terus dihujani kata maaf."

Ia kembali menatap langit malam, memikirkan kejadian yang terjadi padanya barusan.
"Aku juga yang masih terlalu lemah. Di benakku masih berbekas dosa yang kuperbuat terhadap Luina. Aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri." katanya sambil tersenyum pahit.

"Terima kasih."

"Kau ini. Tolong berhenti meminta maaf, aku tidak tahan bila terus dihujani kata maaf."

Catriel hanya mengangkat bahu, nyaris mengatakan kata maaf lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus merespon Kira dengan jawaban apa selain "maaf". Ia telah menyusahkan banyak orang, dan Kira salah satunya.

"Aku juga yang masih terlalu lemah. Di benakku masih berbekas dosa yang kuperbuat terhadap Luina. Aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri."

Apakah itu menyangkut masalah mengenai statusnya sebagai half vampire, Catriel masih berspekulasi.
"Luina... Ia gadis yang pernah kau sebut-sebut, bukan?" tanyanya sambil tersenyum kecil pada diri sendiri.

Agaknya, Catriel menemukan banyak sisi dari Kira yang tidak ia sangka sebelumnya. Memang, setiap orang memiliki sisi yang berbeda-beda.

"Terima kasih."

"...Untuk apa...? ...Makhluk itu menarget kau dan aku, dan aku hanya membayar hutanku saat di hutan... Lagipula begini terasa lebih baik," jawabnya sambil tersenyum datar. "...Aku merasa sudah mengakhiri 'Oliver' yang mendendam padaku walau secara tidak langsung. Aku harap dapat memulai hidup yang lebih baik di sini... Hal yang sama juga kukatakan untukmu," tambahnya setelah melihat ekspresi Kira yang masih gelap karena Doppelganger tadi.

Luina... Ia gadis yang pernah kau sebut-sebut, bukan?

Kira yang semula sedang memandang langit malam penuh bintang memejamkan matanya. Perlahan kenangan-kenangan manis bersama Luina kembali masuk ke dalam ingatannya. Namun tidak semuanya bahagia, darah Luina. Darah yang paling tidak ingin disentuhnya sejak dulu sampai sekarang ini.
"Ya...Namun Ia sudah tiada. Aku sudah berusaha keras melupakannya ketika sampai di end earth, namun teringat kembali setelah bertemu denganmu."

...Aku merasa sudah mengakhiri 'Oliver' yang mendendam padaku walau secara tidak langsung. Aku harap dapat memulai hidup yang lebih baik di sini... Hal yang sama juga kukatakan untukmu,

Hidup baru? Kata-kata Catriel menusuknya dalam. Sampai saat ini dan mungkin seterusnya, Kira masih memiliki dendam terhadap orang itu. Mungkin Ia malahan tidak akan tenang sampai orang itu mati.
"Hidup baru...mungkin aku akan sulit menemukannya." katanya pelan.

"Seseorang yang telah terjerumus ke dalam kegelapan mungkin tidak dapat keluar darinya. Sebelum orang itu mati ditanganku, aku rasa aku tidak akan bisa menemukan hidup baru."

"Ya...Namun Ia sudah tiada. Aku sudah berusaha keras melupakannya ketika sampai di end earth, namun teringat kembali setelah bertemu denganmu."

Catriel mengerjap kaget, kemudian melempar pandangannya jauh ke langit malam.
Otaknya seakan berhenti bekerja dan ia sama sekali tidak tahu harus berkata apa.

"Seseorang yang telah terjerumus ke dalam kegelapan mungkin tidak dapat keluar darinya. Sebelum orang itu mati ditanganku, aku rasa aku tidak akan bisa menemukan hidup baru."

"...Kau benar-benar membenci orang itu..." desahnya sambil menggeleng lemah.

Catriel mengangkat kepalanya dan memejamkan matanya, memanggil ingatannya satu per satu. "Manusia tidak dapat hidup tanpa cahaya," katanya perlahan, lebih kepada dirinya sendiri. "Namun pada saat yang sama, mereka juga tidak dapat hidup tanpa kegelapan. Tapi mengikat diri pada salah satunya adalah kesalahan terbodoh umat manusia... Setidaknya, itulah yang selalu dikatakan seseorang padaku dulu. Kami, Knight, memiliki 'chivalry' dan juga sisi manusia kami. Karena itulah aku mengerti dilemma di antara keduanya, sama seperti saat aku meragukan 'keberadaan' Oliver untukku."

Ya, kata-kata itu adalah kata-kata yang menjadi pegangan hidupnya selama ia menjadi Knight di kehidupannya di masa lalu. Catriel nyaris tak percaya ia harus mengatakannya kepada orang lain sekarang, setelah nyaris setiap kali diceramahi oleh kata-kata yang sama oleh Knight pembimbingnya.

"Tidak salah bila kau membenci orang itu... Aku tahu mungkin aku tidak dalam posisi untuk mengatakan hal ini..." ujar Catriel sambil menengadah ke arah bintang-bintang yang bersinar keperakan. "Tapi apakah kau pikir mereka yang telah berada di alam sana akan bahagia bila melihatmu terikat pada kegelapan...? Waktu itu kita juga membicarakan hal yang serupa, kau ingat? Bahwa mereka yang telah tiada akan menjadi bagian dari salah satu bintang-bintang itu..."

...Kau benar-benar membenci orang itu...

Mata Kira tetap tertuju pada bintang-bintang malam, tidak dapat berkata apa-apa. Memang, Ia sangat membenci orang yang dulu membuatnya membunuh seluruh keluarganya, namun sebenarnya bukan hanya benci yang dirasa Kira saat ini. Dendam.

Manusia tidak dapat hidup tanpa cahaya, Namun pada saat yang sama, mereka juga tidak dapat hidup tanpa kegelapan. Tapi mengikat diri pada salah satunya adalah kesalahan terbodoh umat manusia... Setidaknya, itulah yang selalu dikatakan seseorang padaku dulu. Kami, Knight, memiliki 'chivalry' dan juga sisi manusia kami. Karena itulah aku mengerti dilemma di antara keduanya, sama seperti saat aku meragukan 'keberadaan' Oliver untukku."

Bodoh... Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk menyebut Kira yang saat ini telah terikat dengan kegelapan dendam. Ia memejamkan matanya, kata-kata Catriel sedikit mengusiknya, namun hatinya tetap keras. Ia memang tidak dapat melepaskan dendamnya.

"Tapi apakah kau pikir mereka yang telah berada di alam sana akan bahagia bila melihatmu terikat pada kegelapan...? Waktu itu kita juga membicarakan hal yang serupa, kau ingat? Bahwa mereka yang telah tiada akan menjadi bagian dari salah satu bintang-bintang itu..."

Hati Kira serasa ditusuk setelah mendengar ucapan Catriel barusan. Apakah mereka akan bahagia? Ya, pertanyaan itulah yang tidak pernah terpikir oleh Kira. Apakah dengan Ia membalaskan dendamnya pada orang itu keluarganya akan bahagia? Luina akan bahagia? Siapa yang tahu? Kira kembali memandang bintang-bintang, berharap keluarganya di atas sana tidak melihatnya seperti sekarang ini.
"Mungkin...mereka tidak akan senang, namun diriku yang sekarang ini sudah tidak mungkin kembali seperti dulu."

Catriel memperhatikan pria bertato itu dengan pandangan yang agaknya, memancarkan simpati.
Ia tahu bagaimana rasanya jatuh dalam kegelapan dan bagaimana rasanya ditolak oleh takdir dan kehidupan. Lagipula ada satu sisi dari pria ini yang ia rasa mirip dengannya, juga dengan Oliver...

"Mungkin...mereka tidak akan senang, namun diriku yang sekarang ini sudah tidak mungkin kembali seperti dulu."

Catriel terdiam.
Namun, sebuah jawaban tiba-tiba saja terbesti di kepalanya.
Jawaban yang baru saja ia temukan sesudah 'menghancurkan' Oliver dalam kegelapannya. Satu-satunya cahaya yang ia miliki, dan ia tahu akan tetap miliki sekarang.

"Kalau tidak ada jalan untuk kembali, selalu ada tempat untuk membuat jalan itu sendiri, bukan? ...Aku baru saja membuatnya. Berkat bantuanmu, Doppelganger itu, dan orang-orang yang menganggapku sebagaimana adanya..."

Ia tersenyum tipis, kali ini bukan karena memori dan ingatan akan masa lalunya. "Tidak ada hal yang benar-benar salah ataupun benar di dunia ini. Tapi bukankah selalu ada jalan untuk membuat masa depan bagi diri sendiri? ...Betapa bodohnya aku, baru menyadari hal itu setelah kutukan yang kulontarkan kepada dunia..."

Kalau tidak ada jalan untuk kembali, selalu ada tempat untuk membuat jalan itu sendiri, bukan? ...Aku baru saja membuatnya. Berkat bantuanmu, Doppelganger itu, dan orang-orang yang menganggapku sebagaimana adanya...

Lagi-lagi, hati Kira tersentak oleh kata-kata yang dilontarkan oleh gadis berambut hitam di sebelahnya ini. Selama ini Ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menerimanya apa adanya, tanpa melihat masa lalunya sama sekali. Senyum tipis tersirat di wajah Kira, agaknya Ia mulai mengerti apa arti seseorang dalam hidupnya yang selama ini hanya dimotivasi oleh dendam semata.

Tidak ada hal yang benar-benar salah ataupun benar di dunia ini. Tapi bukankah selalu ada jalan untuk membuat masa depan bagi diri sendiri? ...Betapa bodohnya aku, baru menyadari hal itu setelah kutukan yang kulontarkan kepada dunia...

Salah atau benar.. Entah yang mana yang dapat mendeskripsikan kehidupan Kira saat ini, Ia sudah nyaris dibutakan oleh kegelapan sampai-sampai bingung menentukan mana yang benar.
"Aku tidak yakin akan apa yang benar dan yang salah. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba. Terima kasih."
Ekspresi wajah Kira kali ini tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat tenang. Mungkin end earth benar-benar telah mengubahnya. Dan mungkin, orang yang paling berperan dalam perubahan diri Kira adalah Catriel.

"Aku tidak yakin akan apa yang benar dan yang salah. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba. Terima kasih."

Catriel tersenyum samar.
Kata-kata yang tidak diperlukan, pikirnya, mengingat ialah yang berhutang pada Kira. Ia telah melakukan banyak hal yang tidak sepantasnya pada orang lain sejak masuk ke End Earth ini, hal-hal yang pasti akan membuatnya terkena omelan panjang Komandan Rune Knight. Tapi entah kenapa ia merasa bisa berbicara dan bersikap lebih terbuka di depan orang lain sekarang, terutama Kira...

"Ini pertama kalinya aku bersykur atas kehidupan keduaku di sini," katanya lemah. "Termasuk juga bertemu dengan banyak orang, Crein, Marianne, dan kau," tambahnya sambil menahan tawa kecil.

Ia tidak dapat melihat wajah Kira secara langsung karena posisi duduk mereka yang membentuk sudut sembilan puluh derajat di bawah pohon dan gelapnya malam, tapi samar-samar, Catriel dapat merasakan bahwa Kira sudah lebih tenang. Atau mungkin ia harus bersyukur karena posisi duduk mereka--sehingga pria itu tidak bisa menatapnya langsung?

Ia mempertegak posisi duduknya agar dapat melihat langit dan rerumputan yang terhampar di hadapannya dengan lebih jelas. Lukanya telah berhenti mengucurkan darah, walau ia merasa agak takut untuk bergerak.
Catriel menengadahkan kepalanya dan tersenyum kecil, kali ini bukan karena memori ataupun kenangan masa lalunya.

"Jujur saja, pertama kali aku bertemu denganmu, aku tidak akan menyangka kita akan dapat berbicara di sini lagi. Mengingat impresi pertamaku akan dirimu sangatlah buruk," tambahnya agak geli, mengingat bagaimana mereka bertengkar--lebih tepatnya bertarung--mempertahankan harga diri masing-masing di tempat ini dulu.

Memang lucu bagaimana dua manusia yang sama-sama menjunjung harga diri masing-masing begitu tinggi sekarang dapat berbincang-bincang sesantai ini. "...Aku bersyukur... atas pertarungan waktu itu..." kenangnya sambil tersenyum lemah untuk dirinya sendiri.

Ini pertama kalinya aku bersykur atas kehidupan keduaku di sini," katanya lemah. "Termasuk juga bertemu dengan banyak orang, Crein, Marianne, dan kau,

Kira kembali tersenyum tipis. Memang agaknya wanita ini sudah berubah banyak dari dirinya yang pertama kali bertemu dengan Kira. Ia menjadi lebih terbuka, lebih bisa menerima kenyataan, dan itu sama sekali bukan hal yang buruk.

Jujur saja, pertama kali aku bertemu denganmu, aku tidak akan menyangka kita akan dapat berbicara di sini lagi. Mengingat impresi pertamaku akan dirimu sangatlah buruk,

Lagi-lagi Kira tersenyum tipis mendengar perkataan Catriel. Sulit bagi orang lain untuk menganggap dirinya adalah orang yang baik saat pertama kali bertemu dengannya, begitu halnya dengan Catriel.
"Tidak mengherankan." katanya sambil sedikit menahan tawa.

...Aku bersyukur... atas pertarungan waktu itu...

Kata-kata wanita ini agaknya sedikit mengena pada Kira. Heh...Pertarungan demi mempertahankan harga diri masing-masing. Ternyata hal itulah yang terbaik. Tapi mungkin perkataannya benar. Kira bangkit berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Catriel untuk membantunya berdiri.
"Hari sudah malam, sebaiknya kita pulang. Kau beristirahatlah."